Pemahaman Tentang Alat Bukti sebagai "Bukti Permulaan Yang Cukup" dan sebagai "Bukti Yang Cukup"

Chairul Huda
Dr. Chairul Huda, S.H., M.H
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan praktek hukum, terlihat adanya kelemahan sistemik. Salah satu halnya dapat dilihat dari hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 28 April 2015 Nomor 21/PUU-XII/2014, yang menjadikan adanya pergeseran makna yang cukup mendalam berkaitan dengan pembuktian pada tahapan Penyelidikan dan Penyidikan, putusan ini mengguncang praktek hukum yang berkaitan dengan perkembangan kewenangan hakim prapreadilan dalam menguji keabsahan tindakan aparatur penegak hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 memuat kaidah hukum baru, diantaranya :
  1. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP;
  2. Pasal 77 huruf a KUHAP, bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;

Mahkamah Konstitusi memperketat persyaratan yang harus dilengkapi penyidik untuk penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan, dengan mengurangi acuan yang mungkin digunakan penyidik, sehingga hanya berkorelasi dengan alat bukti yang menjadi dasar acuan hakim menetapkan seseorang terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Tetapi pada sisi lain Mahkamah Konstitusi juga menentukan mekanisme pengendalian kewenangan penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana dan menemukaan tersangka, termasuk juga penggunaan kewenangan dalam melakukan penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan tidak seutuhnya dalam kendali penuntut umum, tetapi kini juga termasuk dalam kendali pengadilan yaitu melalui hakim praperadila.

Sehingga perkembangan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 secara gradual harus disikapi oleh Kepolisian Negara Republk Indonesia (Polri) selaku lembaga yang mempunyai kekuasaan melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana.

Makna “bukti”, “bukti permulaan”, atau “alat bukti”.


Tentang Makna “bukti”, “bukti permulaan”, atau “alat bukti” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 184 KUHAP

Dengan adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 maka istilah “bukti”, “bukti permulaan”, dan “alat bukti” sebagaimana dimaksud dalam kententuan Pasal 1 angka 2 dan angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 184 KUHAP, secara substansial tidak lagi mempunyai perbedaan makna. Melainkan perbedaanya hanya tinggal terletak pada aspek formalitasnya, perbedaan istilah-istilah tersebut ditentukan dari tata cara pemerolehannya dan penggunaanya. Dalam hal ini, berdasarkan prosedur pemerolehannya menjadikan suatu hal sebagai “bukti”, “bukti permulaan”, atau “alat bukti”. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi ingin menegaskan bahwa penggunaan istilah-istilah tersebut tidak dimaksudkan sebagai suatu bentuk “gradasi” sarana pembuktian, melainkan semata-mata hanya berkenaan dengan tempat penggunaanya.

Selain itu, istilah “yang cukup” atau “cukup” yang melekat pada istilah “bukti”, “bukti permulaan”, dan “alat bukti”, baik yang mendahului atau dibelakangnya, sama sekali tidak berbeda dari segi kuantitasnya satu dengan yang lain. Kesemuanya harus dimaknai berhubung dengan ketentuan minimal yang harus ada sebelum suatu keputusan dalam proses penyidikan dilakukan. Dalam hal ini, hukum menentukan sekurang-kurangnya terdapat dua “bukti”, “bukti permulaan”, atau “alat bukti”, untuk dapat dikatakan memenuhi persyaratan (yang cukup atau cukup). Dalam hal ini untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka atau melakukan penahanan harus didasarkan pada minimal dua bukti untuk dapat dikatakan memenuhi persyaratan (“yang cukup” atau “cukup”), sedangkan untuk melakukan penangkapan harus didasarkan minimal dua bukti permulaan untuk dapat dikatakan memenuhi persyaratan (“yang cukup” atau “cukup”). Keharusan adanya minimal dua bukti atau bukti permulaan itu, sebangun kriteria yang digunakan oleh hakim untuk menyatakan seseorang melakukan tindak pidana dan bersalah oleh karenanya, yaitu dengan minimal dua alat bukti untuk dapat dikatakan memenuhi persyaratan (“yang cukup” atau “cukup”).

Pengetatan kriteria itu, dimaksudkan MK untuk menjamin proses dan prosedur yang ditentukan dalam Hukum Pidana formiel (Hukum Acara Pidana) benar-benar mengacu pada asas legalitas (principle of legality), yang termaksuk dalam Pasal 3 KUHAP (peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini), sehingga Hukum Acara Pidana juga memiliki sifat lex scripta (Prinsip hukum tertulis), lex stricta (harus ditafsirkan seperti yang dibaca), lex certa (tidak multitafsir), sebagai komponen dasar dari asas legalitas. Dalam hal ini tekanan pengaturan Hukum Acara Pidana ada menyebabkan setiap proses (pengurangan hak individu) dan prosedur (perlindungan hak individu) yang dijalankan aparatur peradilan pidana berlangsung secara lebih “ketat”.

Hal ini berdampak pada peratuan terkait dengan definisi yang sifatnya operasional, yang selama ini ada dan menjadi acuan, sehingga tidak lagi dapat dijadikan rujukan tentang “bukti permulaan yang cukup”, seperti peraturan bersama dan Peraturan Kapolri Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana.

Putusan MK tersebut juga dimaksudkan untuk mengakhiri inkonsistensi dan kesimpangsiuran dalam penggunaan istilah-istilah dalam KUHAP. Ketika Pasal 1 angka 14 KUHAP tersangka didefiniskan dengan menggunakan istilah “bukti permulaan” sebagai dasar untuk menyatakan seseorang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, yang tidak sejalan dengan definisi penyidikan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 2, yaitu pencarian dan pengumpulan “bukti” untuk “membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya”, maka dengan adanya Putusan Makamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 ketidakakuratan istilah-istiilah dimaksud tidak lagi perlu dipersoalkan, karena sebenarnyan dapat diartikan sama (evidence), sehingga membedakan antara “bukti” dengan “bukti permulaan” atau “alat bukti” menjadi tidak lagi bernilai.

Begitu juga inkonsistensi istilah yang mengatur kewenangan penyidik dalam penangkapan dalam Pasal 17 KUHAP, hanya dapat dilakukan kepada orang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan yang cukup”, sedangkan penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti yang cukup”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, karena adanya kekhawatiran melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidananya, seharusnya sekarang tidak lagi berbeda secara prinsipiel maknanya, kini dengan adanya Putusan MK Nomor. 21/PUU-XII/2014 harus dipersamakan.

Pemaknaan yang sama terhadap beragam istilah-istilah tersebut, agar fungsi negara hukum dapat dilaksanakan yaitu kemampuan negara melalui pembentuk undang-undang untuk membuat atau memaknainya lewat Putusan Mahkamah, sehingga dapat dilaksanakan secara netral (neutrality) dan seragam (uniformity) serta dapat diprediksiakan (predictability).

Konsekusensi pada proses Penyidikan.

Penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan yang dilakukan penyidik dengan adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, menjadi “linear” dengan pengambilan keputusan oleh hakim yang menyatakan suatu tindak pidana telah terbukti dan terdakwa bersalah. Dalam hal ini, penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan harus didasarkan sekurang-kurang pada:
  • Adanya Keterangan Saksi dan Surat;
  • Adanya Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli;
  • Adanya Surat dan Keterangan Ahli.

“Bukti” atau “bukti permulaan” atau “alat bukti” untuk dapat digunakan dalam penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan haruslah diperoleh “dalam hal dan menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang. Bahan keterangan saksi yang diperoleh dalam tahap penyelidikan “harus diambil kembali” dalam rangka penyidikan.

Dengan demikian, Berita Acara Klarifikasi saksi yang dibuat dalam tahap penyelidikan harus diubah dalam format pro justisia berbentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP), demikian pula pendapat ahli yang diperoleh dalam tahap penyelidikan, dibuat lagi substansinya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) seorang Ahli. Baik Keterangan Saksi maupun Keterangan (pendapat Ahli) yang diperoleh dari perkara lain (berkaitan spliitzing), sekalipun sudah dimuat dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, harus diambil ulang untuk kepentingan pemeriksaan dalam penyidikan perkara tersebut.

Begitu pula dengan bukti, bukti permulaan, atau alat bukti surat, yang merupakan barang bukti, harus diperoleh secara resmi, melalui penyitaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemerolehan surat sebagai barang bukti yang tidak melalui proses yang demikian itu hanya berfungsi sebagai bahan bukti dalam penyelidikan, dan tidak menjadi bukti, bukti permulaan atau alat bukti dalam penyidikan. Lain halnya dengan surat-surat yang dikeluarkan instansi yang berwenang yang memang dimintakan penyidikan guna membuat terang suatu perkara pidana yang sedang disidiknya, seperti visum et repertum atau misalnya surat keterangan tentang tanah yang menjadi objek perkara dari Badan Pertanahan Nasional (BBPN), dapat langsung menjadi bukti, bukti permulaan, atau alat bukti tanpa melalui penyitaan.

Sementara itu Barang Bukti (material evidence) yang semula dapat menjadi “bukti” atau “bukti permulaan” untuk penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan, dengan adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 harus diubah menjadi Surat atau Keterangan Ahli. Barang bukti tidak lagi dapat dipandang “bukti” atau “bukti permulan” secara langsung, mengingat dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, konstitusionalitas bersyarat dari pasal-pasal yang diujikan sepanjang dimaknai dengan susunan alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Sementara alat bukti “petunjuk” dan “keterangan terdakwa” hanya menjadi domain hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan, sehingga tertutup kemungkinannya untuk digunakan dalam proses penyidikan.

Berdasarkan hal itu pula, keterangan tersangka atau calon tersangka (terlapor) yang untuk sementara diperiksa sebagai saksi, sama sekali tidak menjadi bukti, bukti permulaan, atau alat bukti. Dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 disyaratkan pemeriksaan calon tersangka hanya sebagai persyaratan tambahan bagi keabsahan dalam penetapan tersangka. Sedangkan pemeriksanaan tersangka hanya menjadi syarat kelengkapan berkas perkara dan dalam rangka pemenuhan hak tersangka untuk didengar keterangannya terhadap perkara yang dipersangkakan menurut versinya. Dengan kata lain, keterangan calon tersangka (terlapor) yang sementara diperiksa sebagai saksi atau keterangan tersangka tidak dapat dijadikan tumpuan pembuktian, karena tidak mempunyai nilai pembuktian untuk membuktikan kebersalahan tersangka atas tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya.

Hal ini merupakan asas non self incrimination, yang berlaku secara universal, diadakan untuk terwujudkanya due process pada satu sisi dan fair procedure pada sisi yang lain. Berarti dalam penyidikan, seseorang tidak boleh dikatakan telah memenuhi unsur-unsur suatu tindak pidana hanya karena berdasarkan keterangannya sendiri sebagai tersangka.

Penutup

Uraian di atas menggambarkan betapa Penyidik dituntut harus lebih professional dan berhati-hati dalam melakukan penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan karena begitu “ketatnya” adanya persyaratan untuk dikatakan telah ada bukti, bukti permulaan, atau alat bukti yang cukup lagi sah. Seyogianya persyaratan ini tidak membuat proses penegakan hukum menjadi “lambat”, karena tuntutan profesionalitas dan kehati-hatian tidak menghilangkan asas penyelenggaran peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Penulis : Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.
Ahli Hukum Pidana, Dosen FH-UMJ & Peneliti Hukum Pidana, menulis artikel ini di "sini" pada tanggal 18 September 2015.
Komentar