Sistem peradilan pidana berorientasi kepada perlindungan korban tindak pidana, selain mendapatkan hak atas perlindungan koban tindak pidana juga berhak memperoleh restitusi dan kompensasi, peraturan perundang-undangan banyak yang mengatur hak-hak restitusi dan kompensasi, diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Karban Tindak Pidana dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Karban,tetapi belum mengatur teknis penyelesaian permohonan untuk mendapatkan hak restitusi dan kompensasi, mengenai teknis pelaksanaan pemeriksaan permohonan restitusi diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung, sehingga Mahkamah Agung pada tanggal 25 Februari 2022 menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana, yang tanggal 1 Maret 2022 telah diundangkan dalam Berita Negara.
Perma tersebut berlaku terhadap permohonan restitusi dan kompensasi atas tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan perbuatan tidak pidana yang dapat dimohonkan kompensasi adalah tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan terorisme sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Restitusi
- ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan;
- ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
- penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/atau
- kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.
Untuk mengajukan permohonan restitusi harus memperhatikan persyaratan administratif yang diatur dalam Pasal 5 Perma 1 Maret 2022, permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan diajukan kepada Ketua/Kepala Pengadilan baik dilakukan secara langsung maupun melalui LPSK, penyidik atau penuntut umum. Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan Restitusi adalah Pengadilan yang mengadili pelaku tindak pidana, yaitu pengadilan negeri, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan militer, pengadilan militer tinggi dan mahkamah syar’iyah.
Permohonan restitusi tidak menghapus hak korban, keluarga, ahli waris dan wali untuk mengajukan gugatan perdata, dalam hal :
- permohonan Restitusi ditolak karena terdakwa diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum; dan
- permohonan Restitusi dikabulkan dan terdakwa dihukum, akan tetapi terdapat kerugian yang diderita Korban yang belum dimohonkan Restitusi kepada Pengadilan atau sudah dimohonkan namun tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan.
Kompensasi
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan tindak pidana terorisme berhak memperoleh Kompensasi berupa:
- ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/ atau penghasilan;
- ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, termasuk luka atau kematian;
- penggantian biaya perawatan dan/atau pengobatan; dan
- kerugian materiil dan immateriil lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana.
Kompensasi bagi Karban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat diberikan dalam bentuk non uang/ natura yang dilaksanakan secara bertahap dalam bentuk pemberian beasiswa pendidikan, kesempatan kerja, atau bentuk-bentuk lainnya.
Prosedur pengajuan kompensasi sama denga pengajuan restitusi kecuali beberapa hal yang diatur dalam Pasal 18 Perma 1 Tahun 2022, antara lain permohonan tidak perlu memuat identitas pelaku tindak pidana dalam hal identitas terdakwa belum atau tidak diketahui.
Penggabungan Permohonan
Pemohon dapat menggabungkan pengajuan permohonan kompensasi secara bersamaan dengan pengajuan permohonan restitusi, yang wajib diajukan melalui LPSK sebelum atau dalam tahap persidangan terhadap pelaku tindak pidana.