Restorative Justice |
Sistem Hukum Pidana Indonesia mengalami pembaharuan, pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan pada perbaikan dan pemulihan keadaan setelah peristiwa serta proses peradilan pidana yang dikenal dengan istilah keadilan restoratif (restoratif justice), berbeda dengan keadilan retributif ( retributive justice) yang menekankan suatu keadilan pada sisi pembalasan, dan keadilan restitutif yang menekankan rasa keadilan pada ganti kerugian. Jika dilihat dari sifat pemidaan modern dan perkembangan ilmu hukum pidana, telah memperkenalkan serta mengembangkan pendekatan hubungan antara Pelaku-Korban dengan istilah “Doer-Victims” Relationship.
Khususnya dalam penegakkan HAM, ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan berupa 3 aspek pendekatan guna menumbuhkan sistem hukum rangka pembaharuan hukum dan modernisasi, yaitu segi substansi (substance), struktur (structure), dan budaya (legal culture) yang layak berjalan secara simultan, integral, dan paralel.
Anak sebagai warga Negara generasi bangsa disamping wajib mendapatkan pendidikan formal (sekolah), juga wajib mendapat pendidikan moral sehingga dapat berguna bagi bangsa dan negara. Sebagaimana telah tertuang dalam Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak) yang sudah diratifikasi pemerintah melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 36 Tahun 1990, kemudian dituangkan dalam UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang dimana semuanya mengedepankan prinsip-prinsip perlindungan anak, yaitu kepentingan terbaik bagi anak, non diskriminasi, tumbuh kembang, kelangsungan hidup, dan senantiasa menghargai partisipasi anak.
Perlindungan terhadap ABH sebenarnya tanggung jawab bersama, bukan hanya anak sebagai pelaku tetapi juga mencakup anak sebagai korban dan saksi.
Sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah turunan Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun, Mahkamah Agung merespon sangat progresif dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, yang ditanda tangani Ketua MA Muhammad Hatta Ali, dimana dalam Poin terpenting dalam PERMA tersebut bahwa Hakim wajib menyelesaikan masalah ABH dengan acara Diversi dan memuat tata cara pelaksanaan hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak.
Baca Juga : Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Peradilan Pidana Anak
Kasus ABH yang sampai proses peradilan hanya kasus serius saja (sangat meresahkan), dengan tetap mengedepankan prinsip kepentingan terbaik anak, tidak mengabaikan hak hak anak, dan penghukuman merupakan jalan terakhir (Ultimum Remedium). Sehingga perkara ABH dapat diselesaikan secara mekanisme non formal dengan pedoman baku. Bentuk penanganan non formal yang dimaksud berupa diversi, sebagaimana jalannya mediasi yang difasilitasi penegak hukum guna mencapai keadilan restoratif, yang diselesaikan dengan cara mewajibkan ABH mengikuti pendidikan atau pelatihan atau tindak lain dengan tujuan pemulihan anak, jika terpaksa harus terjadi penghukuman maka hak-hak anak tidaklah boleh diabaikan, sehingga penanganan nonformal dapat berjalan dengan baik sebagai bentuk upaya membentuk sistem peradilan yang kondusif.
Sebenarnya, diversi dapat dipandang juga sebagai sistem yang dimana fasilitator sebagai promoter dalam menyelesaikan masalah antara para pihak yang berselisih untuk mencapai keadilan restoratif. Mekanisme dan tradisi musyawarah untuk mufakat merupakan perwujudan dalam memperkuat hukum dalam masyarakat. Sehingga, keadilan restoratif merupakan pembelajaran moral, penyembuhan, perhatian, dan partisipasi masyarakat, rasa memaafkan, dialog, tanggungjawab dan membuat perubahan, yang merupakan pedoman terhadap perspektif keadilan restoratif.