Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Peradilan Pidana Anak
Hukum pidana mengalami perkembangan, hingga adanya pergeseran paradigma filosofi peradilan pidana anak, berawal retributive justice dimana pelaku kejahatan dilakukan denda sesuai kejahatannya, menjadi rehabilitation, dan yang terakhir menjadi restorative justice.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) terdapat istilah diversi dan keadilan restorative atau sering dikenal dengan istilah Restorative Justice, istilah baru tersebut tidak terdapat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Diversi mempunyai arti pengalihan penyelesaian perkara anak (anak berhadapan dengan hukum) dari proses peradilan pidana kepada proses diluar peradilan pidana, lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA.
Diversi bertujuan mencapai perdamaian antara korban dan Anak, menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan, menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Sementara yang dimaksud keadilan restorative (Restorative Justice) yaitu suatu penyelesaian perkara pidana diluar peradilan dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga pelaku dan juga kelauraga korban, serta pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang memenuhui rasa keadilan terhadap korban dan pelaku / anak berhadapan hukum (ABH).
Hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin dengan adanya diversi dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal” karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Lihat tujuan diversi pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA.
Diversi wajib diupayakan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, meskipun konsekuensi “wajib” pada pengupayaan diversi juga menjadi kabur karena sanksi terhadap pengabaian ketentuan ini yang diatur pada pasal 96 sudah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012.
Meskipun demikan, memang tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak dapat diupayakan diversi, Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 memberikan batasan pada kasus yang bisa diupayakan diversi yaitu :
- Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;dan
- Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Sebagai referensi Baca Juga :
1. Restoratif Justice sebagai tujuan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun
Bang, ak punya klien anak-anak tersangkut perkara Narkoba jenis Ganja, bagaimana solusi menurut abang, mohon balasan untuk bahan masukan.
Bang Andreas Steven Law, jika ada Klien anak-anak perkara Narkotika saran saya :
1. Pastikan Pasal yang dipakai Pasal 111 atau 127 UU No. 35 th 2009 tentang Narkotika.
2. Jika yang dipakai pasal 127, silahkan minta Diversi dan lanjut penetapan diversi kepada penyidik yang menanganinya.
3. Jika penyidik berkesimpulan bahwa tersangka anak dikenakan Pasal 111 , yang harus segera diupayakan sebelum 15 hari (7 hari penahanan penyidik & 8 hari penahanan Penuntut Umum), penasehat Hukum/Keluarga mengajukan Permohonan Assesmen kepada Penyidik yang menanganinya, setelah diterima penyidik akan membuat surat permohonan Assesmen untuk Rahabilitasi kepada BNN Kota.
Sekian secara singkat yang bisa dibantu, semoga membantu dan jika kurang jelas kirimkan email.
Kasus narkotika tidak dapat dilihakan melalui sistem diversi dan Restorative Justice.
Anak Berhadapan Hukum perkara Narkotika dapat dilakukan Assesment BNN/BNNP/BNNK, jika hasil assesment narkotika menyimpulkan anak tersebut merupakan pengguna dan korban salah guna serta tidak termasuk dalam peredaran gelap narkotika maka penyidik harus menerapkan Pasal 127 UU No. 35 th 2009 tentang Narkotika.
Untuk kepentingan anak berdasarkan hukum penyidik dapat melakukan diversi mengingat ancaman hukuman pidana Pasal 127 UU Narkotika adalah maksimal 4 tahun, sedangkan ketentuan Diversi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun (Pasal 7 UU SPPA).
Bahan Bacaan : Perma No. 04 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (http://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/perma_04_2014.pdf)
betul sekali pak Febrian Anom Harnowo, stigmatisasi dan labeling negatif terhadap anak yang bermasalah dengan hukum seyogyanya dijauhkan,untuk menjaga masa depan si anak dan agar Terlaksananya asas Restoratif Justice di masyarakat. Masyarakat haruslah faham dan menelaah kembali inti dari asas RJ tersebut.
betul sekali pak Febrian Anom Harnowo, karena seyogyanya anak dihindarkan dari Stigmatisasi dan lebeling negatif terhadap penghukumannya agar tidak berdampak buruk pada masa depan si anak.
Mohon penjelasan perkara anak pasal 363 KUHP, karena ancamannya 7 tahun maka penyidik tidak melaksanakan diversi sesuai pasal 7 UURI No.11 tahun 2012 tentang SPPA namun karena pihak korban memaafkan dan tidak menginginkan perkara tersebut diproses lebih lanjut maka penyidik mengunakan kewenangan mengunakan surat edaran Kapolri nomor SE/2/II/2021 tanggal 19 Februari 2021
Mungkin dapat dilihat sebagai bahan masukan tentang Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif